Ditulis Oleh: Mutia Fatmawati Sitorus
Sekarang, mimpimu mungkin masih menjadi mimpi. Bubuhilah disiplin dan tanggung jawab. Kelak, mimpi itu menjadi nyata.
Ini bukan tentang impian besar bersekolah di kampus bergengsi dunia atau tentang tekad menjadi pemimpin hebat di masa depan. Ini hanya sepaket kecil kisah tentang seorang lelaki yang memimpikan kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Ia adalah pemuda yang lahir dari desa kecil di tanah Toba, dari seorang veteran pejuang kemerdekaan yang menggantungkan kehidupan sehari-hari dari bertani dan membajak sawah, serta dari seorang Ibu tangguh dengan tujuh orang anak.
Ia yang kini kusebut dengan Papa, baru saja berjuang melawan strok, dampak dari penyakit ‘tiga serangkai’ yang kerap menimpa lansia di masa tuanya, yaitu diabetes, kolesterol, dan hipertensi. Di mata setiap anak, Papa adalah sosok tangguh, bertanggung jawab, dan pekerjakeras. Tak terkecuali denganku, bagaimana tidak? Papa adalah anak sulung untuk keenam adik-adiknya. Sudah terbayang olehku, walau tak menyaksikan langsung, bahwa semasa hidupnya, selalu dipenuhi tanggung jawab besar untuk menjaga dan mengayomi adik-adiknya. Belum lagi penghasilan seorang petani yang belum mencukupi untuk sekadar makan sehari-hari bagi sembilan orang anggota keluarga. Hal tersebut memaksa papaku memutar otak untuk membantu meringankan beban Opung (sebutan untuk kakekku) dengan bekerja paruh waktu selepas jam sekolah.
Papa selalu mendidik kami, anak-anaknya, untuk menerapkan sikap disiplin pada hal kecil sekalipun. Misalnya, salat tepat pada waktunya. Papa sangat tidak suka dengan keterlambatan. Barang-barang yang sudah digunakan harus dikembalikan ke tempat semula, dan masih banyak lagi. Hal ini mungkin buah dari didikan sang Kakek yang seorang veteran atau karena Papa yang seorang purnawirawan.
Ya, Papa adalah pensiunan tentara. Pada mulanya, sama sekali tidak terpikirkan baginya untuk menjadi seorang tentara, mengingat latar belakang pendidikan dan kemampuan keluarga yang serba terbatas. Namun, dengan tekad kuat demi mendambakan kehidupan yang lebih layakbagi anak cucunya kelak, diiringi disiplin dan tanggung jawab besar, asa itu akhirnya menjadi nyata. Bukan tanpa aral, Sabang sampai Merauke telah dijelajahi dengan hanya berbekal baju seadanya, merantau dengan bekal puluhan ribu saja, dan makan nasi hanya ditemani butiran garam.
Hingga kini, ia selalu mencontohkan kepada kami untuk selalu menjaga sikap tanggung jawab dan disiplin. Karena dengan begitu, hal yang tidak mungkin akan menjadi mungkin. Satu pesan Papa yang selalu kupegang, “Papa enggak mau kalian seperti Papa. Enggak tahu apa-apa, jadi hidupnya susah. Salat itu nomor satu, mutlak hukumnya. Kedua, sekolah setinggi-tingginya, supaya klop. Amal dan ilmu itu berjodoh. Kalau agama bagus, tapi ilmu pendek, jadi buta arah. Kalau pintar, tapi enggak mengerti agama, hidup kamu sesat.” Terima kasih, Papa, atas segala bekal kehidupan yang tak ternilai. ***